Anand Krishna Sampaikan Pesan Kearifan Lokal Nusantara dari Danau Toba: Memahami Pemena Karo & Parmalim Batak
Kembali Anand Krishna, tokoh spiritual humanis Indonesia yang juga penulis ratusan buku yang bertemakan spiritual, meditasi, yoga dan budaya berbagi pesan yang sarat dengan mutiara kebijaksanaan.
Di dalam video yang berjudul “Pesan Kearifan Lokal Nusantara dari Danau Toba: Memahami Pemena Karo & Parmalim Batak” membeberkan tentang mutiara kebijaksanaan yang sarat dengan makna, langsung saja kita simak penjelasan beliau tersebut.
Historis dari kaldera yang menjadi Danau Toba dulunya adalah gunung berapi super yang sudah meletus sebanyak 3 kali. Letusan pertama sekitar 700.000 tahun yang lalu, yang kedua 500.000 tahun yang lalu dan yang ketiga 74.000 tahun yang lalu.
Menurut Bapak Anand Krishna, tempat dimana wawancara berlangsung, pernah menjadi pusat peradaban seluruh dunia karena dahulu pusat seluruh dunia berada di sini ketika ratusan ribu tahun yang lalu dimana masih berupa satu kontinen yang besar sekali dan dalam teks-teks kuno dinamakan Jambudvipa dan di sinilah gunung Meru.
Dalam Bhagavad Gita sampai dengan 5.000 tahun yang lalu, Gunung Meru dikenang sebagai gunung tertinggi. Sementara himalaya barangkali masih berupa perbukitan yang kecil sekali.
Setelah terjadi erupsi di sini berulang kali menyebabkan pasir menutupi seluruh dunia selama puluhan hingga ratusan tahun. Seluruh dunia menjadi gelap gulita. Terakhir dengan letusan gunung Tambora menyebabkan seluruh dunia gelap gulita selama kurang lebih 40 tahun.
Erupsi gunung super volcano di Toba ini kekuatannya 2800 kali lipat lebih besar dari letusan Gunung St. Helens di Washington, Amerika Serikat. Jadi, kita bisa bayangkan betapa luar biasanya situasi saat letusan itu terjadi.
Pemahaman kita tentang sejarah sangatlah minim karena tidak ada recordnya dan juga peradaban-peradaban baru yang muncul (katakanlah 2.000 – 3.000 tahun yang lalu) mereka ingin menunjukkan bahwa merekalah yang membawa peradaban, mereka yang memunculkan peradaban sedangkan sebelumnya adalah orang-orang yang bodoh.
Kita percaya bahwa dalam tradisi-tradisi kuno kita, entah itu tradisi pemena atau parmalim mempercayai bahwa kehidupan di alam ini adalah siklus. Jadi, ketika sudah hancur lebur, kita akan mulai dari awal lagi.
Yang menarik adalah konsep-konsep dasar filsafatnya. Mejuah-juah (salam dari suku Karo, Sumatera Utara) yang artinya semoga sejahtera, sehat, damai dan sempurna. Yang mana ini adalah hampir sama artinya dengan Om Svasti Astu.
Kita melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang holistik yang tidak hanya tentang uang tetapi kesehatan, kedamaian dan kesempurnaan. Bukan bahagia karena kita punya uang, tetapi kita mesti punya jiwa yang tenang dan damai.
Salam kita memiliki arti yang luar biasa; semoga kau bahagia, semoga kau sejahtera, semoga kau lengkap. Mejuah-juah, Horas, Sampurasun. Bahasanya berbeda-beda, namun maknanya sama.
Disini istilah Dibata adalah istilah untuk Sang Pencipta bagi suku Karo. Divine, Dewata, Deva, semua berarti sama, Dibata.
Ada Dibata di atas, ada Dibata di tengah, ada Dibata di bawah yang mana sama maknanya dengan Om Bhur Bhuvah Svaha. Ada 3 alam.
Kemudian 3 alam itu bisa kita terjemahkan sebagai alam secara fisik, ada bumi ini, ada alam di bawah tanah dimana ada binatang-binatang dan serangga dan ada alam angkasa yang tak ada batasnya.
Bila kita perhatikan, ada 3 warna yang menonjol di dalam tradisi di Karo, Batak dan Bali. Warna tersebut adalah Putih, Merah dan Hitam. Warna ini dalam tradisi Bali dikenal sebagai Tridhatu dan memiliki makna yang sama seperti Bhur, Buvah, Svaha dalam Gayatri Mantra.
Warna Putih adalah Svaha yang mewakili angkasa, alam semesta yang luas. Yang tengah adalah warna Merah (Bhuvah) yang mewakili kehidupan manusia. Yang bawah adalah warna Hitam tapi bukan hitam dalam pengertian rendah atau jelek atau gelap tetapi karena kita tidak tahu apa yang ada di bawah itu.
Dunia baru mengetahui dampak dari letusan gunung berapi setelah gunung Krakatau meletus. Dan setelah itu pula diadakan penelitian-penelitian tentang adanya lempengan-lempengan yang sedang bergerak di bawah.
Para arsitektur jaman dulu kita membuat rumah dengan konsep Aku Menyembah Ia yang bersemayam dalam dirimu (Namaste). Seorang pemandu wisata menjelaskan bahwa “mereka membuat rumah seperti bentuk tangan orang menyembah.” Bentuk atap rumah di daerah sini adalah segitiga yang menyerupai bentuk tangan dalam postur Namaskar.
Menarik sekali bahwa konsep-konsep kepercayaan yang asli dari bumi ini menghormati setiap wujud kehidupan. Pintu dibuat kecil sehingga setiap orang yang masuk ke dalam rumah harus menundukkan kepala untuk menghormati orang yang sudah ada di dalam rumah.
Apakah kaitannya antara sejarah dengan spiritualitas? Kita adalah hasil dari sejarah panjang. Kalau kita tidak memahami pondasi kita, kita tidak akan bisa membangun sesuatu.
Spiritualitas tidak mengenal sekat-sekat, tak mengenal batasan dan Bapak Anand Krishna berupaya untuk mengajak kita untuk melihat kesatuan di balik segala perbedaan.
Mari kita melihat wilayah peradaban kita ini sebagai suatu hotel mewah yang terdiri dari banyak kamar dan masing-masing kamar tidak diberi nomor melainkan diberi nama, seperti Karo, Batak, Jawa, Sunda dan lain-lain. We are all one.
Demikian penjelasan Anand Krishna, semoga penjelasan Beliau bisa memberikan inspirasi bagi kita semua agar bisa lebih memaknai kehidupan ini.
Buku Javanese Wisdom – Butir-butir Kebijakan Kuno bagi Manusia Modern Buah Karya Anand Krishna
Bagi yang teratrik untuk mengetahui kebijaksanaan Nusantara, bisa mendapatkan buku-bukuy kebijakan Nusantara buah karya Anand Krishna. Dimana Beliau senantiasa membagikan mutira kebijaksanaan tersebut dalam bahasa sederhana yang mudah dimengerti, salah satunya adalah dalam buku “Javanese Wisdom – Butir-butir Kebijakan Kuno bagi Manusia Modern“.
“Membaca manuskrip dari Anand Krishna ini sungguh menarik. Betapa tidak, Anand Krishna adalah sosok intelektual, tokoh spiritual lintas bangsa dan agama… hidup di era informatika yang serba instan, tetapi memiliki kepedulian yang demikian tinggi terhadap butir-butir kebijaksanaan kuno yang oleh sebagian masyarakat modern dianggap telah usang dan ketinggalan zaman…. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Penulis, semoga buku ini akan bermanfaat bagi kehidupan.”
~ Drs. Sulistyo S. Tirto Kusumo, MM (Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman, Direktorat Jenderal Kebudayaan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI)
”Membaca buku ini mengingatkan saya pada nasihat orangtua saya yang selalu menggnakan ungkapan-ungkapan Jawa. Nilai-nilai yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan ini sangat bermanfaat dalam pembentukan karakter seseorang. Dalam tulisan ini Bapak Anand Krishna telah mengungkapkan makna ungkapan-ungkpan dalam budaya Jawa dengan bahasa yang mudah dimengerti yang akan menggugah pembaca untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.”
~ Bondan Sikoki, SE. MA. (Founder SurveyMETER Foundation)
“Apresiasi terhadap buku ini patut diberikan dalam upaya dinamisnya untuk membahasakan nilai dan prinsip warisan luhur Nusantara ke dalam dunia modern Indonesia… Melalui buku ini kita diajak untuk merefleksikan diri dan menginventarisasi apa yang sejujurnya tidak pantas dan harus disingkirkan.”
~ Drs. Gendro, M.Pd (Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI)