Kehidupan itu suatu keberlanjutan. Walaupun kita bertumbuh secara fisik, mental, intelektual dan emosional, sang anak di dalam diri kita tidak. Tidak pernah tumbuh. Sang anak tetap memiliki kepolosan dan keceriaannya. Sayangnya, sistem pendidikan dan norma-norma sosial kita tidak dapat memberikan apa yang sang anak perlukan, yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Ya, kebutuhan fisik, mental, itelektual dan emosional kita terpenuhi. Tetapi kebutuhan spiritual tidak. Anak di dalam diri kita tetap saja kurang gizi dan tak berkembang. Atas nama spiritualitas, anak sering dicekoki dogma dan doktrin agama. Hadiah dan hukuman, surga dan neraka, Tuhan dan setan – semuanya ini matematika belaka. Makanan ini bagus buat pikiran, intelek dan emosi, tetapi tidak bagi sang jiwa. Sang anak di dalam diri, percikan spiritual di dalam diri tiap orang dari kita, perlu berjalan terus melewati seluruh dualitas dan kemudian menyatu dengan sang sumber, sumbernya di dalam Jiwa. Diri kecil kita kangen, rindu menyatu dengan Diri yang Lebih Tinggi. Sang anak, sang bayi di dalam diri kita mencari kebahagiaan sejati. Dia tidak peduli akan kenyamanan fisik dan kenikmatan sensual. Dia mati bosan dengan senam mental dan jargon intelektual. Kebutuhan sang bayi tak dapat lagi dipuaskan oleh ketertarikan emosional.
Sang anak dalam diri kita, dan juga dalam diri Michael Jackson, makin resah-gelisah. Tetapi masyarakat dan norma-norma sosial menentang kegelisahan macam ini. Sesungguhnya mereka malah tidak mau mengakui keberadaannya. Masyarakat dan sistem sosial bersama-sama memutuskan pendidikan macam apa yang bakal diberikan pada anak-anak. Keputusan mereka mencerminkan kebutuhan mereka, bukannya kebutuhan, kesenangan, ketidaksenangan, dan potensi sang anak. (Anak) yang memenuhi kebutuhan mereka bakalan diberikan hadiah dan penghargaan. *The Gospel of MJ halaman 123
Lihat Buku The Gospel of Michael Jackson (Bilingual English-Indonesian)