Proses Pematangan Manusia
Swami Kriyananda mengaitkan duabelas tahun pertama dalam kehidupan manusia dengan planet Jupiter. Dalam tradisi kuno peradaban Hindu atau Hindia, planet Jupiter disebut Brahaspati atau Guru. *Sanyas Dharma halaman 237
Selama Enam Tahun Pertama…
Seorang anak belajar menggunakan fisiknya, inderanya, menggerakkan otot-ototnya, menyesuaikan setiap gerakan dengan keinginannya. Awalnya ia mesti diajari supaya tidak ngompol dan buang air di toilet, di tempat yang sudah tersedia untuk keperluan itu. Itulah pelajaran awal pengendalian diri. Pengendalian fisik, indra, dan gerakan otot adalah proses pembelajaran awal menuju brahmacharya. Jadi brahmacharya bukan sesuatu yang aneh, kuno, kolot, atau terkait dengan salau satu kepercayaan. Brahmacharya adalah bagian dari kehidupan manusia. Tanpa pengendalian diri, sulit membedakan manusia dari hewanSelama enam tahun pertama ini, seorang anak belum bisa mengendalikan emosinya. Jika mau menangis, ia akan menangis. Ia tidak memperhatikan waktu dan tempat. Mau berteriak, berteriak saja. Mau tertawa, tertawa saja. Ia mulai belajar mengendalikan emosinya dalam masa…
Enam Tahun Beikutnya
Masa inilah yang biasa disebut golden years, di mana lapisan-lapisan mental/emosionalnya mulai berkembang. Ia terinspirasi oleh cerita-cerita yang didengarnya, dibacanya; oleh acara-acara di televise; oleh pelajaran di sekolah; oleh keadaan di rumah, di lingkungan sekitarnya; dan oleh pergaulannya. Demikianlah mulai terbentuk karakter seorang anak, berdasarkan faktor-faktor di atas, mana yang lebih dominan.
Kekacauan yang terjadi saat ini, banyak pejabat tinggi yang semestinya melayani masyarakat malah menyusahkan masyarakat, para pengusaha nakal yang tidak peduli dengan keadaan bangsa dan Negara, para profesional yang lupa kode etik profesinya, semuanya disebabkan oleh pendidikan yang salah selama 12 tahun awal.
Selanjutnya, Padas Usia 13 Tahun Ke Atas…
Ketika ia memasuki usia puber, ia mulai memberontak. Ia ingin mencoba segala hal yang baru. Ia ingin menguji kekuatan mental, emosional, dan kehendaknya. Jika dilarang melakukan sesuatu, ia malah tertantang untuk mencobanya. Banyak perokok berat mulai merokok pada usia ini. Demikian pula korban alcohol. Sebab itu, amat penting sebelum memasuki usia puber seorang anak belajar untuk mengendalikan emosi dan pikirannya. Jika hal itu tidak terjadi, usia puber hanyalah pertanda bencana. *Sanyas Dharma halaman 240
Kemudian, Sekitar Usia 19 Tahun…
Seorang remaja menentukan sendiri jalur hidupnya. Ia tidak mau diintervensi. Lagi-lagi, tanpa pengedalian diri, dan tanpa arahan yang tepat, seorang remaja tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak bertanggung jawab, dan hanya mementingkan diri.
Intinya: Pembentukan Karakter yang terjadi selama 12 tahun awal kehidupan manusia, menjadi landasan bagi seluruh hidupnya. Ada kalanya seorang anak yang memasuki usia puber lebih awal, ada kalanya sedikit telat. Pembagian ini berdasarkan standar umum. *Sanyas Dharma halaman 241
Pertanyaannya: Atas kemauan siapa? Apakah anak itu betul mau belajar piano, balet, bahasa asing, karate, dan sebagainya, atau orang tua yang memaksanya? Mengarahkan anak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang membedakan manusia dari hewan adalah upaya yang patut dilakukan orang tua, yang selama ini sering terlupakan sama sekali. Tetapi memaksa anak menguasai sekian banyak hal di luar kurikulum sekolah adalah kesalahan yang sangat fatal. Setelah berusia 12-an tahun, atau setidaknya di atas 10 tahun, biarlah dia sendiri yang menentukan, mau belajar ballet atau menjadi pemain bola. Mau menguasai seni bela diri atau seni merangkai bunga. *Sanyas Dharma halaman 243
Dewasa ini betapa minimnya rasa tanggung jawab di dalam diri manusia modern. Ini dapat dilihat dari kekacauan yang terjadi hampir di semua bidang, politik, ekonomi, pendidikan, atau apa saja. Keadaan ini Harus Diperbaiki. Seorang sanyasi mesti mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperbaiki keadaan ini. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menawarkan program-program yang dirancang khusus bagi orang tua, guru di sekolah, dan para siswa, sebagaimana telah kita lakukan. *Sanyas Dharma halaman 249
“Melayani komunitas, masyarakat luas, sesama warga dunia, lingkungan, dan sebagainya, dan seterusnya, tanpa pamrih. Jadi, bukan sekedar pelayanan, tetapi pelayanan tanpa pamrih. Pelayanan tanpa mementingkan diri. Butir ini harus diperluas, diperdalam, diperlebar, diperbesar sesuai dengan kemampuan Anda, kemampuan organisasi AndaTiga bidang utama yang mesti diperhatikan adalah kesehatan, pendidikan, dan hukum. Sebagaimana telah saya jelaskan dalam buku “Neo Self Empowerment: Mengajar tanpa Dihajar Stress”, ketiga profesi ini adalah profesi yang sangat mulia. Hendaknya tidak seorang pun menodai kemuliaan profesi-profesi ini. *Sanyas Dharma halaman 414
Spiritualitas adalah Hal Baru Baik bagi Manusia Barat, maupun bagi Manusia Indonesia Modern. Ketika saya mengatakan “Manusia Indonesia Modern”, khususnya dalam konteks ini, maksud saya adalah manusia-manusia Indonesia kelahiran setelah tahun 1970-an. Manusia-manusia modern ini tidak memperoleh pendidikan spiritual, bahkan pendidikan budi pekerti atau universal human values pun tidak. Mereka memperoleh ajaran agama sesuai dengan agama yang dianut orangtuanya. Dan, pelajaran agama, seperti yang kita semua ketahui, hanya menyentuh akidah, sejarah, Dan segala-sesuatu yang terkait dengan salah satu agama saja. Baik, saya tidak mengatakan tidak baik. Tetapi hal itu berakibat Manusia Indonesia Modern sulit mengapresiasi ajaran dari agama-agama lain, karena ia memang tidak tahu. Pendidikan spiritual justru memperkaya pendidikan agama. Selain menjalani agamanya, jika seseorang memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran-ajaran agama lain, ia menjadi seorang spiritualis. Ia bisa melihat esensi setiap agama, yang sesungguhnya sama. Setiap agama menjunjung tinggi nilai-nilai universal, nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. *Sanyas Dharma halaman 464
Lihat Buku Sanyas Dharma – Mastering the Art and Science of Discipleship